Kamis, 06 Juni 2013

Perjumpaan Iman dan Budaya Lokal: “Masuk melalui pintunya, keluar melalui pintuku”


“Saya tidak begitu mengenal orang-orang China berikut tradisi dan budaya mereka sampai akhirnya saya tinggal di Pekalongan selama satu tahun. Rasanya begitu jauh untuk mengenal mereka. Ada banyak pandangan yang miring terhadap mereka. Namun, pandangan itu perlahan berubah seiring berjumpa dan berdinamika bersama mereka. Tidak serta merta saya menghakimi mereka secara sepihak. Justru saya juga menemukan hal baik dalam diri mereka dari sisi budaya, kehidupan, cara kerja, dan spiritualitas mereka ”

Gereja merupakan persekutuan umat beriman Kristiani yang beriman kepada Yesus Kristus yang mewartakan kabar keselamatan kepada semua orang. Sebagai persekutuan, Gereja terbentuk dari berbagai kalangan umat dengan berbagai macam latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Latar belakang sosial, budaya, ekonomi itu sedikit banyak mempengaruhi dinamika Gereja yang terbentuk, bertumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, Gereja yang mau mendarat, hidup dan berkembang harus mampu menyentuh kebutuhan umat yang dilayaninya, termasuk berkaitan dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi dll.
Dalam usahanya semakin menegakkan Kerajaan Allah (Visi Arah Haluan Keuskupan Purwokerto), Gereja harus mengenali karakteristik umat di dalamnya. Tujuannya supaya pelayanan Gereja menyentuh dan menyapa mereka. Perbedaan latar belakang budaya akan mempengaruhi bagaimana sebaiknya pelayanan Gereja dibuat.
Pemahaman saya terhadap mereka terasa begitu dangkal. Saya tidak mengenal baik budaya dan tradisi yang berkembang di dalamnya. Ini menjadi kelemahan saya sebagai tenaga pastoral. Bahwa setidaknya, tenaga pastoral harus lebih dulu membaca, mengenali, dan mencermati subyek pastoral yang dilayani. Agar pelayanan itu efektif. Sekilas pandang berjumpa dengan umat Tionghoa, tampaknya beberapa umat Tionghoa masih membuat beberapa ritual atau tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka. Kendati tidak semua dari mereka melakukannya dengan baik dan benar. Artinya, soal pelaksanaan dan pemaknaan yang kurang mendalam. Pertanyaan untuk mereka adalah Bagaimana identitas mereka, sebagai orang Tionghoa, di Indonesia atau Keuskupan Purwokerto khususnya? Apakah mereka menghidupi nilai-nilai kebudayaan Tionghoa dengan baik, atau bahkan mendalami dan mengembangkan kebudayaan Tionghoa.
Beberapa hal yang saya tahu berkaitan dengan tradisi Tionghoa adalah pertama,  mengenai penghormatan arwah (leluhur). Mereka membuatnya sebagai sebuah warisan dari leluhur mereka. Kendati praktek ini tidak serta merta dibuat oleh mereka. Ctt: saya masih dangkal soal pengetahuan ini, apakah di dalamnya tidak ada benturan paham antara penghormatan leluhur tionghoa dengan peringatan-peringatan yang dibuat oleh Gereja Katolik? Mungkin, penghormatan kepada leluhur sebagai bakti anak kepada orangtua, mendoakan mereka agar hidup abadi di surga dll. Dengan kata lain, sebagai sarana menghormati dan mendoakan para arwah leluhur agar diterima Tuhan, sebagai usaha mengikuti tradisi yang sudah ada dalam keluarganya, atau sebagai usaha memperoleh keselamatan dari para leluhur. Ini yang perlu dijernihkan!!!
Kedua, tahun baru imlek. Perayaan syukur kepada Yang Maha Tinggi, dihindarikan dari segala malapetaka dan dirahmati dengan rejeki yang berlimpah. Dalam perayaan itu ada aneka macam simbol dari camilan, kue, buah, agar-agar, ikan, nasi, dan tradisi seni barongsai dll. Mereka sangat kaya dengan simbol. Demikian Gereja pun kaya akan simbol. Maka, semua bisa ditatapkan satu sama lain, asal kita mengetahui makna dibalik simbol-simbol itu. (Animal symbolicum –manusia mengungkapkan dirinya dalam bentuk-bentuk simbol).
Nilai yang kuat berkembang dari budaya dan tradisi Tionghoa adalah soal penghormatan kepada orangtua, kepada leluhur serta keharmonisan hidup pribadi dengan alam, dan sekitarnya. Paham, “siapa menanam, ia akan menuai” rasanya melekat dalam hati mereka. Selain juga spiritualitas kerja yang selalu ditekuninya dengan baik. Saya setuju dengan spiritualitas yang disampaikan oleh Rm. Maryoto, bahwa mereka memiliki semangat kerja, ulet, sangat menghormati leluhur, dan menjaga nama baik keluarga, Keharmonisan relasi manusia dengan alam yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi, manusia tidak pernah lepas dari alam, tindakannya berdampak pada alam semesta, dan seluruh alam semesta mempengaruhi dirinya.

Pastoral Kontekstual
Teologi yang berkembang di Asia berhadapan dengan tiga realitas, yaitu keagamaan, kebudayaan, dan kemiskinan. Berhadapan dengan tiga realitas itu, rasanya menjadi mungkin dan baik jika Gereja bisa menempatkan diri dengan baik dengan ketiga realitas itu. Ctt: Rm. Kristi : menemukan wajah Kristus yang kontekstual.
Belajar dari Matteo Ricci yang bermisi di China. Dia menggunakan pintu masuk budaya untuk mengenalkan Kristus. Kristus dikenalkan dengan gampang, sederhana, terlebih berhadapan dengan mereka yang belum mengenal Kristus. Matteo Ricci belajar budaya terlebih dahulu. Catatan tambahan : budaya China tidak mengenal penderitaan. (Prinsip hidup yang disampaikan bapak Edi: Tuhan tidak mengatur kesuksesan dan kegagalan mereka. Kesuksesan dan kegagalan tergantung di tangan mereka sendiri. Tuhan hanya urusan hidup dan mati manusia saja). Maka, konsep penderitaan manusia hanyalah rekaan manusia, penderitaan hanyalah manusia. Tuhan tidak akan pernah menderita. Sementara bagi Katolik, Kristus adalah Dia yang menderita.
Kita sebagai tenaga pastoral, mampu menempatkan diri, merasuk dan melebur dengan mereka untuk mengenalkan mereka pada Kristus, “masuk melalui pintu mereka, keluar melalui pintu kita”- sebab iman tumbuh dari kebudayaan setempat bukan dipaksakan dari luar.
Berhadapan dengan budaya dan tradisi setempat, Gereja perlu hati-hati agar tidak terbawa dalam arus sinkretisme. Atau setidaknya mengarahkan umat untuk jeli dalam menghidupi tradisi budaya dan keagamaan mereka dengan baik. Jangan sampai toleransi menjadi suatu pengesahan terhadap praktek sinkretisme. Maka, fungsi tenaga pastoral untuk bisa mengenal budaya dan tradisi setempat dengan baik. Mana yang selaras dengan Gereja Katolik mana yang tidak!!

Bagiku:
1.      Membuka wacana dan kesadaran baru mengenai realitas umat yang hidup dan berkembang di Keuskupan Purwokerto.
2.      Diajak untuk mengakrabi kebudayaan setempat dengan baik sebagai sarana efektifitas pastoral yang mau dikembangkan demi perkembangan umat.
3.      Tujuannya akhirnya bisa mengembangkan Katekese yang kontekstual dengan mengenali kebudayaan mereka, mengenali pola kepercayaan mereka dan memasukkan unsur-unsur kristiani dalam katekese. Tujuannya agar mereka mengerti akan misteri Kristus, memahami maknanya, serta hidup baru dalam diriNya.
4.      Mengasup dan mengembangkan spiritualitas hidup mereka yang dapat menjadi daya yang baik (kalau dimanfaatkan dalam Gereja) untuk perkembangan Gereja: penghormatan kepada leluhur, orang yg lebih tua, semangat kerja dll.
5.      Melibatkan mereka dalam kehidupan menggereja secara otentik

Pertemuan Imam Balita
Heninggriya, 01 Maret 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar