Kamis, 06 Juni 2013

“Ke-Saling-an Dalam Persaudaraan Imami”



MOON
(Cullen - Twilight)

My name is moon, I'm the friend of the star
make it more shining in the night
when all of the people praise me as the beautiful and great one
feel jealous of my name
actually i'm so bored of that praise
i'm only a thing that should obey my Lord
shining in the night although i have to be alone
You don't have to feel jealous of me
i can't do what you can do
so, it'll be better if you can be yourself that more live than me


“Bertumbuh adalah ciri mahluk hidup, berkembang adalah ciri manusia dan manusia bisa berkembang ketika mau belajar kehidupan” –Anton Hang- . Rasanya benar apa yang dikatakan oleh Anton Hang. Setiap waktu aku diajak untuk terus-menerus belajar sesuatu dari setiap peristiwa kehidupan yang kualami. Ketika aku mau belajar dari peristiwa, dari orang lain, aku akan berkembang dengan sendirinya. Tentu menjadi pribadi yang semakin baik lagi.
Pembelajaran hidup rasanya kian mendewasakanku sebagai seorang pribadi yang terus bertumbuh dan berkembang. Salah satu pembelajaran hidup itu adalah bagaimana aku menerima diri sebagai ciptaan Tuhan dan menerima orang lain, belajar darinya dengan penuh syukur.

Belajar hidup dalam keluarga
Aku merenungkan perjalanan rohani setiap pribadi selalu digondheli dengan berbagai macam tujuan, keinginan, mimpi dan lain sebagainya. Mimpi-mimpi diri –idealisme diri- menggerakkan seseorang untuk mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Entah bagaimana caranya, “Aku harus bisa mewujudkannya!”. Aku ingat salah satu peristiwa dalam keluargaku. Pada waktu itu bapak berhasrat menjadi kepala desa. Kami, putra-putrinya, melihat positif keinginan tersebut. Akan tetapi, di sisi lain ada sesuatu hal yang membuat kami merasa berat menerima keputusannya. Dalam hati kami berpikir, “Lebih baik tidak usah mencalonkan diri. Resiko yang ditanggung terlalu besar. ...rasanya ini hanyalah mimpi yang akan menyisakan mimpi alias mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan”. Apa boleh buat, bapak tetap melaksanakan keputusannya dengan kekeh. Apapun yang kami berikan (himbauan, nasihat, atau ajakan) tak sedikitpun membuat hatinya luluh, lalu mundur. Bapak sibuk mondar-mandir mengurusi proses pemilihan, lembur menerima tamu setiap hari, demikian ibu harus bolak-balik memasak, menjamu para tamu yang datang hampir setiap hari. Di sinilah riak-riak kecil mulai mewarnai keluarga kami terlebih saat hasil akhir dari pertandingan itu berujung kekalahan. Yang tersisa hanyalah perasaan sedih, masa depan yang akan terasa berat, tetapi sekaligus mencoba pasrah menghadapinya....
Benturan tidak hanya terjadi dalam keluarga. Aku merenungkan benturan-benturan itu bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Dalam komunitas kecil maupun besar, komunitas dan kesempatan formal maupun informal. Di setiap kesempatan aku diajak untuk belajar menerima diri dan menerima orang lain dengan bijaksana.

Sebagai seorang imam muda
Ketika ada kebekuan, neng-nengan, di dalam persaudaraan dibutuhkan ice breaking. Nah, untuk menjadi ice breaker itu dia harus rela memulai, dipecah dulu untuk mencairkan suasana. Aku begitu tersapa ketika hidup bersama dengan seorang frater yang mampu meluluhkan hati, “tri piye kabare tri..”. demikian dia menyapaku dengan senyam-senyum sendiri. Kendati aku meneng, ada konflik dengannya. Sapaan yang meluluhkan dan mencairkan suasana, “Ada keterbukaan dan kerendahan hati” –Siramilah yang kering, lenturkanlah yang tegang-. Di pastoran (TOP), pengalaman berjumpa dengan figur imam yang memberi inspirasi bagaimana membangun hidup kebersamaan dalam pastoran. “Tidak selalu ada kecocokan dalam komunitas pastoran. Ada benturan –entah iri, entah kepentingan, atau apapun. Namun dalam  karya penggembalaan parokial, mereka (para imam) selalu memberikan pencitraan yang baik bagi umat”.
Mutiara peristiwa kebersamaan yang menggembirakan : kebersamaan dalam komunitas – rekan imam, tertawa bersama, saling meneguhkan, dolan bareng. Itu peristiwa-peristiwa yang menggembirakan bersama dengan rekan komunitas. Apa-apa dikomunikasikan dengan baik.
Kebersamaan yang ditantang : kepentingan diri sendiri, komunitas, Gereja. Bagaimana menemukan prioritas, bagaimana mempertemukan berbagai perjumpaan pribadi.
Nilai-nilai formatif : kesediaan mau belajar, memberikan diri apa adanya, terbuka, rendah hati, menerima dan  menghargai orang lain dalam kebersamaan komunitas. Kalau aku merenung-renungkan soal managemen konflik berarti bagaimana aku harus belajar menata diri terlebih dahulu (intern) diperjumpakan dengan berbagai macam pribadi yang membawa identitas dirinya masing-masing. Di dalam perjumpaan itu, aku merasa penting untuk memiliki: Keterbukaan (Openess), Empati (Empathy), dukungan (Supportiveness), Rasa positif (Positiveness), dan Kesamaan (Equality).

Pertemuan Imam Balita
Heninggriya,  24 Mei 2012

Perjumpaan Iman dan Budaya Lokal: “Masuk melalui pintunya, keluar melalui pintuku”


“Saya tidak begitu mengenal orang-orang China berikut tradisi dan budaya mereka sampai akhirnya saya tinggal di Pekalongan selama satu tahun. Rasanya begitu jauh untuk mengenal mereka. Ada banyak pandangan yang miring terhadap mereka. Namun, pandangan itu perlahan berubah seiring berjumpa dan berdinamika bersama mereka. Tidak serta merta saya menghakimi mereka secara sepihak. Justru saya juga menemukan hal baik dalam diri mereka dari sisi budaya, kehidupan, cara kerja, dan spiritualitas mereka ”

Gereja merupakan persekutuan umat beriman Kristiani yang beriman kepada Yesus Kristus yang mewartakan kabar keselamatan kepada semua orang. Sebagai persekutuan, Gereja terbentuk dari berbagai kalangan umat dengan berbagai macam latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Latar belakang sosial, budaya, ekonomi itu sedikit banyak mempengaruhi dinamika Gereja yang terbentuk, bertumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, Gereja yang mau mendarat, hidup dan berkembang harus mampu menyentuh kebutuhan umat yang dilayaninya, termasuk berkaitan dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi dll.
Dalam usahanya semakin menegakkan Kerajaan Allah (Visi Arah Haluan Keuskupan Purwokerto), Gereja harus mengenali karakteristik umat di dalamnya. Tujuannya supaya pelayanan Gereja menyentuh dan menyapa mereka. Perbedaan latar belakang budaya akan mempengaruhi bagaimana sebaiknya pelayanan Gereja dibuat.
Pemahaman saya terhadap mereka terasa begitu dangkal. Saya tidak mengenal baik budaya dan tradisi yang berkembang di dalamnya. Ini menjadi kelemahan saya sebagai tenaga pastoral. Bahwa setidaknya, tenaga pastoral harus lebih dulu membaca, mengenali, dan mencermati subyek pastoral yang dilayani. Agar pelayanan itu efektif. Sekilas pandang berjumpa dengan umat Tionghoa, tampaknya beberapa umat Tionghoa masih membuat beberapa ritual atau tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka. Kendati tidak semua dari mereka melakukannya dengan baik dan benar. Artinya, soal pelaksanaan dan pemaknaan yang kurang mendalam. Pertanyaan untuk mereka adalah Bagaimana identitas mereka, sebagai orang Tionghoa, di Indonesia atau Keuskupan Purwokerto khususnya? Apakah mereka menghidupi nilai-nilai kebudayaan Tionghoa dengan baik, atau bahkan mendalami dan mengembangkan kebudayaan Tionghoa.
Beberapa hal yang saya tahu berkaitan dengan tradisi Tionghoa adalah pertama,  mengenai penghormatan arwah (leluhur). Mereka membuatnya sebagai sebuah warisan dari leluhur mereka. Kendati praktek ini tidak serta merta dibuat oleh mereka. Ctt: saya masih dangkal soal pengetahuan ini, apakah di dalamnya tidak ada benturan paham antara penghormatan leluhur tionghoa dengan peringatan-peringatan yang dibuat oleh Gereja Katolik? Mungkin, penghormatan kepada leluhur sebagai bakti anak kepada orangtua, mendoakan mereka agar hidup abadi di surga dll. Dengan kata lain, sebagai sarana menghormati dan mendoakan para arwah leluhur agar diterima Tuhan, sebagai usaha mengikuti tradisi yang sudah ada dalam keluarganya, atau sebagai usaha memperoleh keselamatan dari para leluhur. Ini yang perlu dijernihkan!!!
Kedua, tahun baru imlek. Perayaan syukur kepada Yang Maha Tinggi, dihindarikan dari segala malapetaka dan dirahmati dengan rejeki yang berlimpah. Dalam perayaan itu ada aneka macam simbol dari camilan, kue, buah, agar-agar, ikan, nasi, dan tradisi seni barongsai dll. Mereka sangat kaya dengan simbol. Demikian Gereja pun kaya akan simbol. Maka, semua bisa ditatapkan satu sama lain, asal kita mengetahui makna dibalik simbol-simbol itu. (Animal symbolicum –manusia mengungkapkan dirinya dalam bentuk-bentuk simbol).
Nilai yang kuat berkembang dari budaya dan tradisi Tionghoa adalah soal penghormatan kepada orangtua, kepada leluhur serta keharmonisan hidup pribadi dengan alam, dan sekitarnya. Paham, “siapa menanam, ia akan menuai” rasanya melekat dalam hati mereka. Selain juga spiritualitas kerja yang selalu ditekuninya dengan baik. Saya setuju dengan spiritualitas yang disampaikan oleh Rm. Maryoto, bahwa mereka memiliki semangat kerja, ulet, sangat menghormati leluhur, dan menjaga nama baik keluarga, Keharmonisan relasi manusia dengan alam yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi, manusia tidak pernah lepas dari alam, tindakannya berdampak pada alam semesta, dan seluruh alam semesta mempengaruhi dirinya.

Pastoral Kontekstual
Teologi yang berkembang di Asia berhadapan dengan tiga realitas, yaitu keagamaan, kebudayaan, dan kemiskinan. Berhadapan dengan tiga realitas itu, rasanya menjadi mungkin dan baik jika Gereja bisa menempatkan diri dengan baik dengan ketiga realitas itu. Ctt: Rm. Kristi : menemukan wajah Kristus yang kontekstual.
Belajar dari Matteo Ricci yang bermisi di China. Dia menggunakan pintu masuk budaya untuk mengenalkan Kristus. Kristus dikenalkan dengan gampang, sederhana, terlebih berhadapan dengan mereka yang belum mengenal Kristus. Matteo Ricci belajar budaya terlebih dahulu. Catatan tambahan : budaya China tidak mengenal penderitaan. (Prinsip hidup yang disampaikan bapak Edi: Tuhan tidak mengatur kesuksesan dan kegagalan mereka. Kesuksesan dan kegagalan tergantung di tangan mereka sendiri. Tuhan hanya urusan hidup dan mati manusia saja). Maka, konsep penderitaan manusia hanyalah rekaan manusia, penderitaan hanyalah manusia. Tuhan tidak akan pernah menderita. Sementara bagi Katolik, Kristus adalah Dia yang menderita.
Kita sebagai tenaga pastoral, mampu menempatkan diri, merasuk dan melebur dengan mereka untuk mengenalkan mereka pada Kristus, “masuk melalui pintu mereka, keluar melalui pintu kita”- sebab iman tumbuh dari kebudayaan setempat bukan dipaksakan dari luar.
Berhadapan dengan budaya dan tradisi setempat, Gereja perlu hati-hati agar tidak terbawa dalam arus sinkretisme. Atau setidaknya mengarahkan umat untuk jeli dalam menghidupi tradisi budaya dan keagamaan mereka dengan baik. Jangan sampai toleransi menjadi suatu pengesahan terhadap praktek sinkretisme. Maka, fungsi tenaga pastoral untuk bisa mengenal budaya dan tradisi setempat dengan baik. Mana yang selaras dengan Gereja Katolik mana yang tidak!!

Bagiku:
1.      Membuka wacana dan kesadaran baru mengenai realitas umat yang hidup dan berkembang di Keuskupan Purwokerto.
2.      Diajak untuk mengakrabi kebudayaan setempat dengan baik sebagai sarana efektifitas pastoral yang mau dikembangkan demi perkembangan umat.
3.      Tujuannya akhirnya bisa mengembangkan Katekese yang kontekstual dengan mengenali kebudayaan mereka, mengenali pola kepercayaan mereka dan memasukkan unsur-unsur kristiani dalam katekese. Tujuannya agar mereka mengerti akan misteri Kristus, memahami maknanya, serta hidup baru dalam diriNya.
4.      Mengasup dan mengembangkan spiritualitas hidup mereka yang dapat menjadi daya yang baik (kalau dimanfaatkan dalam Gereja) untuk perkembangan Gereja: penghormatan kepada leluhur, orang yg lebih tua, semangat kerja dll.
5.      Melibatkan mereka dalam kehidupan menggereja secara otentik

Pertemuan Imam Balita
Heninggriya, 01 Maret 2012



Indahlah Tuhan


Ku tak pernah sendiri
Jalani hidup habiskan waktu
Kau slalu ada bersamaku,
Hadir saat suka maupun duka

Kau tak pernah berhenti memandang
Bahkan Kau ulurkan tangan
Mengangkatku dalam harapan besar
‘tuk cinta dan kebahagiaan

Indahlah Tuhan, hidup ini indah
CintaMu selalu kurasakan
Baiklah Tuhan, Engkau sungguh baik
HarapanMu slalu menghidupkan, selamanya

Engkau sungguh baik, selamanya



Kentungan, 30 April 2013

Makna dan Istilah Gunung dalam Perjanjian Lama

Kita bisa menggali beberapa informasi mengenai arti atau makna tempat di dalam Kitab Suci. Tempat-tempat di dalam Kitab Suci bisa jadi merupakan simbol. Kita bisa melihat beberapa  tempat di dalam Kitab Suci seperti gunung, kota, sungai dan lain sebagainya. Seperti halnya nama memiliki arti bagi kita, demikian tempat-tempat di dalam Kitab Suci memiliki makna tersendiri. Kita akan melihat salah satu nama tempat yang terdapat di dalam Kitab Suci yakni gunung.
Di dalam Kitab Suci gunung atau bukit mempunyai arti yang mendalam. Kita bisa menemukan gunung di dalam Kitab Suci, seperti Gunung Sinai, Nebo, Karmel, Horeb, Tabor, Sion, Bukit Zaitun, Kalvari, maupun Golgota. Gunung-gunung itu dipakai untuk menggambarkan pertemuan Allah dengan umatNya. 

Pertama, Bukit Sion. 
Sion merupakan lambang untuk tempat kediaman Allah, atau untuk umat Allah, yakni umat di mana Allah tinggal. Apapila kita menemukan istilah bukit Sion itu adalah nama bukit di kota Yerusalem di bagian tenggara Yerusalem. Bukit Sion dikenal dengan kota Daud. Sion adalah tempat suci (Mzm 48:1-2) dan sebuah gunung yang kuat (Mzm 125:1-2). Sion menjadi Yerusalem Sorgawi (Ibr 12:22), tujuan dari para musafir Kristen. Singkatnya, bukit Sion merupakan simbol dari rumah Allah sendiri.

Kedua, Gunung Sinai
Dalam PL, Gunung Sinai disebut juga Gunung Horeb. Di Gunung inilah Yahwe menampakkan diri kepada Musa. Allah memberikan kesepuluh Hukum dan hukum-hukum lainnya. Perjanjian yang diadakan Allah menjadi tanda kesatuan bagi banyak suku, dan menempa mereka menjadi satu umat yang mengabdi kepada satu Allah. 

Ketiga, Gunung Nebo
Gunung Nebo kadang disebut Gunung Abarim adalah tempat di mana Musa memandang tanah Kanaan yang dijanjikan Allah kepada Israel. Nebo juga menunjuk pada kota di Moab atau di Yehuda. Selain itu, Nebo menunjuk pada Dewa Nabu dari Babel yang melambangkan kekuasaan Babel sendiri. Nebo juga menunjuk pada nama leluhur orang Yahudi yang menikah dengan perempuan asing yang ditegur oleh Ezra.

Keempat, Gunung Karmel
Karmel berarti tanah kebun atau tanah subur. Di dalam Perjanjian Lama ada dua tempat yang menggunakan nama ini :
a. Sederet bukit memanjang dari barat laut ke tenggara Laut Tengah ke dataran Dotan. Tepatnya, Gunung Karmel adalah punggung bukit utama di ujung barat laut dengan membentuk perbatasan daerah Asyer. Daerah Karmel memiliki tanah yang subur. 
b. Karmel menunjuk pada kota di Yehuda, kini disebut Khirbet el-Karmil di suatu daerah penggembalaan yang bergelombang yang baik untuk ternak.
Bagi perjalanan iman Bangsa Israel, Karmel menjadi tempat perjuangan di mana Elia dan nabi-nabi Baal berjuang memperebutkan kesetiaan Umat Israel (1 Raj 18). 

disarikan dari Ensiklopedia Alkitab Online
to be continued...